Startup : Validasi Saja Tidak Cukup
Idea Projects, My Blog Jan 07, 2017

Happy New Year 2017, rasanya baru kemarin saya merasakan tahun 2015, kemana hilangnya tahun 2016?
Sudahlah, tidak usah dibahas…. mari kembali ke topik tulisan pertama ditahun 2017 ini.
Sejak awal pertengahan 2009, istilah Startup (perusahaan rintisan) sudah mulai merambah ke indonesia, menjadi topik yang banyak diperbincangkan namun cukup sulit dicari seperti apa wujudnya. Saya belajar tentang startup pertama kali melalui Founder Institute dari silicon valley (sekitar 2010/2011).
Mulai tahun 2014, barulah startup benar-benar booming, setiap ada semintar atau event startup, hampir dipastikan penuh dengan anak-anak muda yang memiliki ambisi untuk menjadi entrepreneur, mempunyai mimpi besar untuk mengubah dunia, ingin menuangkan semua ide dan ego demi mencapai tujuan sempurna, yakni bermanfaat bagi orang banyak. Suasana diruang seminarpun tak ubahnya seperti seperti digedung dewan, riuh dan meriah dengan obrolan bagaimana membuat MPV, survey & kuesioner, validasi, iterasi, pivoting, bisnis model kanvas, customer segment, memilih mentor, venture capital, investor dan masih banyak lagi.
Namun pada prakteknya, banyak pula yang tidak menuai manfaat dari implementasi konsep-konsep tersebut, mungkin ada yang sudah pernah membuat bisnis model kanvas sampai validasi dibawah naungan venture capital, namun tetap saja tidak start, apalagi sampai up. Mungkin juga sudah ada yang pernah melakukan survei ke ratusan calon customer, namun ketika launching produk, anda dibuat keringat dingin, karena hasilnya tidak seperti yang dibayangkan didalam survei. Terkadang, survey bisa menjadi media pembohong paling mematikan, mengapa saya berkata demikian? mungkin sebagian responden merasa kasihan kalau memberikan penilaian jelek, mungkin sebagian lagi merasa tidak peduli sehingga asal menjawab, mungkin juga responden anda takut dikira bodoh dan terkesan tidak berpendidikan yang akhirnya menggiring dia untuk menjawab bagus semua (yang menunjukkan tingkat ketertarikan tinggi) atau ada juga yang sekedar beramal ketika sedang mengisi kuesioner, namanya amal kan harus yang bagus. Hasilnya, mimpi anda terbang tinggi dan dihempaskan ke bumi.
Disisi lain, tidak jarang juga ada calon customer yang mengatakan tertarik untuk membeli produk anda (ketika masih berupa prorotype), namun tak kunjung membeli ketika produk komersilnya sudah diluncurkan. mengapa?
Hal ini tidak hanya terjadi didunia startup, perusahaan dunia sebesar Coca-Cola (Coke) dan McD (Arch Deluxe) pernah gagal dalam memasarkan produknya, meskipun telah melewati serangkaian uji rasa yang ketat. Dalam validasi market, orang-orang di jalur konvensional menyebutknya dengan istilah market attractiveness, dimana lebih banyak berfokus pada pemikiran linear dan rasional dengan hipotesis bahwa kualitas, fitur, harga dan manfaat adalah hal yang paling menentukan penerimaan pasar, namun faktanya pasar lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran irasional, banyak anomali pasar yang belum bisa dijelaskan melalui teori ekonomi modern. Masih ingat game pokemon, kenapa booming beberapa waktu lalu?
Kadang pasar itu aneh dan sangat tidak rasional, namun itulah pasar adanya. lalu masih perlukah validasi? tujuan awal validasi yang diajarkan dalam paham customer development hanyalah rangkaian upaya untuk meminimalis resiko, bukan menghilangkannya.
Kesimpulannya : Anda perlu mencari The Experiencer, yakni orang-orang yang memiliki kecerdasan emosional, kemampuan empati yang tinggi serta jiwa inovatif untuk membayangkan, menguji dan merancang pengalaman (experience) produk sebelum sampai ke konsumen. Why? sebelum manusia membeli/menggunakan sebuah produk, keputusannya akan dipengaruhi oleh pertimbangan irasional, jadi harus ada orang yang membangun jembatan irasional antara produk dan konsumen, kita menyebutnya Tween, cara untuk memastikan sampainya value ke tangan konsumen yang tepat melalui pengalaman yang tepat.