Cerita Telur Ayam
My Blog, Office Life Jan 11, 2018
Happy New Year untuk kita semua …
semoga belum basi ya kawan, kesibukan di 2017 memaksa saya untuk cuti sebagai dosen, cuti karena baru pindah ke tempat kerja baru, industri yang baru, sibuk karena persiapan pernikahan dan sibuk karena papa yang baru saja di panggil menghadap sang Pencipta, disitulah saya bisa meresapi bahwa kesedihan/kebahagiaan, kemudahan/kesusahan itu tidak silih berganti, namun datang bersamaan, mungkin selama ini kita tidak sadar, entah kebahagiaan yang berhasil menutupi kesedihan sehingga tidak terkesan tampak atau kesusahan yang menutupi kemudahan sehingga kita selalu merasa paling “apes” didunia ini, entahlah…
Itulah intermezo kita dipagi ini kawan… kembali ke topik ya, Cerita Telur Ayam
Kenapa sih dengan telur ayam? kalian pasti tau dong? dan pasti pernah memakannya kan? rasanya enak dan paling praktis sebagai pengganti lauk hehehe, ketika kecil, saya lebih memilih telur ayam ceplok dibandingkan daging ayam atau daging lainnya, aneh kan? itu sih cerita nenek saya, mungkin saja dulu saya di boongin 😀 (maaf, intermezo lagi… hehehe)
Bila kalian perhatian seksama, dari gambar kedua telur tersebut tidak ada yang aneh, kecuali warnanya, satu berwarna putih dan satu lagi berwarna cream kecoklatan. Telur itu ibarat perjalanan seorang fresh graduate mencari ilmu dan mengasah kemampuannya, walaupun dipoles dengan penampilan yang berbeda, lulus dari kampus yang berbeda, namun percayalah, isinya tetap sama.
Telur itu pun ditempa oleh lingkungan tempatnya bekerja (air), kehidupan bermasyarakat (panas), teman dan relasinya (panci) maupun pengalaman yang didapat (waktu). Agar menjadi telur yang sempurna, suhu yang digunakan untuk memasak harus ideal (pas), demikian pula waktu memasaknya, harus tepat.
Bila suhunya sempurna, namun waktu memasaknya terlalu singkat, jadilah telur setengah matang, enak sih, bekerja dengan pengalaman singkat langsung diposisi tinggi, kecerdasan diatas rata-rata, banyak yang menyukai, dan terlalu bangga dengan kemampuannya sendiri, lupa merangkul dibawahnya dan cenderung berpikir “semua bisa diselesaikan”, apalah artinya membunuh seekor nyamuk menggunakan boom?.
Lalu bagaimana bila suhunya tidak sempurna, namun waktu memasaknya terlalu lama, pada akhirnya akan matang juga, mungkin rasanya saja agak aneh. Itu ibarat karyawan yang sudah memasuki usia pensiun, baru mendapatkan tingkat kematangan yang seharusnya lebih dibutuhkan dipertengahan masa karirnya. Bekerja dengan santai, tidak pernah improve skill, relasi yang sempit dan bekerja karena butuh untuk hidup, hanya belajar dari “katanya gini, katanya begitu”.
Kemudian bila suhunya tidak sempurna, waktu memasaknya singkat, inilah karyawan yang tidak bisa perform, selalu mencari alasan dan melakukan pekerjaan dengan semaunya. Saya jamin dalam 3 bulan sudah dipecat. Sudah tidak ada pengalaman, bercerita layaknya seorang expert dan hanya ingin memberi perintah, ya pastilah arahnya mengikuti kemana angin bertiup, tipikal karyawan seperti ini hanya mengandalkan keberuntungan semata.
Pada akhirnya, telur yang dimasak dengan suhu yang ideal dan waktu yang tepat, akan menghasilkan telur putih dengan kuning yang sempurna ditengahnya, karir yang ditempa dengan banyak pengalaman dalam jeda waktu yang cukup, fokus dalam menyelesaikan pekerjaan, mempunyai visi yang kuat, perkataan dan realisasi hasilnya sama, bila retak karena tekanan, dia pun tidak akan mengotori tempatnya dengan drama. Telur seperti ini, kelak (bila sudah pensiun) bisa diolah dalam bentuk yang beragam dengan tetap mempertahankan cita rasa telurnya (identitas diri).
Bila kalian lelah menjadi telur rebus, boleh kok jadi telur ceplok tanpa minyak atau telur dadar dengan banyak campuran…. atau bahkan kalian boleh saja bertransformasi menjadi anak ayam, semua kembali pada diri kalian, asalkan tidak menjadi telur busuk (diam ditempat yang gelap, tidak ada aktivitas dan hanya berdoa esok mendapatkan matahari, tidak ada action untuk doa tersebut, ya busuklah pastinya).