Mengajari Murid Jujur Pada Diri Sendiri
My Blog Jul 27, 2022
Di dunia pendidikan, ada satu pernyataan klise yang diamini semua orang, yaitu bahwa tujuan utama para dosen adalah membantu mahasiswa didiknya dalam proses belajar . Ya, saya pun melihat anggapan itu tidak salah. Namun, menurut saya ada tujuan lain yang lebih baik : saya ingin membantu mahasiswa saya untuk belajar cara menilai diri sendiri.
Apakah mereka bisa menakar kemampuan diri mereka yang sebenarnya? apakah mereka tahu kekurangan mereka? apakah mereka punya pendapat yang realistis tentang pandangan orang lain terhadap diri mereka? ataukah jawaban dari semua itu cukup digantikan dengan nilai label “A”?.
Nantinya, fungsi utama seorang pendidik bukan hanya perkara memberikan nilai, namun lebih jauh dari itu adalah membantu para mahasiswa agar mereka mampu berefleksi dengan jujur. Saya berikan sebuah contoh : ada seorang mahasiswa dinyatakan lulus matakuliah pemrograman basic dengan nilai A. tentunya angka tersebut sangat memuaskan, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah angka A tersebut diperoleh sendiri, dengan upaya sendiri, kemampuan sendiri ataukah menggunakan cara-cara yang kurang terpuji, seperti copy paste, mencontek karya teman atau mungkin karena dia cukup dekat dengan dosennya, sehingga banyak bagian yang mendapatkan pengecualian/pemakluman dari sang dosen?. Permasalahannya nanti muncul, ketika dia memasuki dunia kerja tanpa tombol bantuan, apa yang akan terjadi?
Untuk memecahkan masalah tersebut, satu-satunya cara adalah dengan mengajari mereka untuk belajar menilai diri sendiri. Kalau kita saja tidak bisa menilai diri kita dengan akurat, bagaimana kita bisa tahu jika kita sudah membuat sebuah kemajuan? atau bahkan kemunduran. apakah patokannya hanya berupa angka-angka nilai dikertas ujian yang lebih tinggi menyatakan bahwa itu sudah sebuah kemajuan “sesungguhnya” dari mahasiswa tersebut?.
Ada orang-orang yang berpikiran kuno yang mengeluh bahwa pendidikan tinggi pada zaman ini sering kali terasa mementingkan “coretan angka di nilai laporan”, yang sejujurnya hal tersebut sangat logis dan masih relevan dengan kondisi dunia pendidikan saat ini. Mahasiswa dan orang tua yakin bahwa mereka sedang membayar harga yang sangat mahal untuk selembar kertas nilai, didalam hati kecil mereka berharap bahwa itu adalah kemampuan asli anak-anak yang mereka kirim ke perguruan tinggi.
Salah satu proses dari refleksi diri adalah kritik dari pihak luar. Ini adalah bagian tersusahnya, susah karena kita harus memastikan murid didik kita bisa menerima kritik / masukan yang membuat mereka lebih maksimal lagi. Sedih rasanya melihat begitu banyak orang tua dan pendidik lain menyerah dalam hal ini.
Dalam konteks membangun rasa percaya diri mahasiswa, pendidik sering menggunakan pujian-pujian kosong dan bukan pendapat jujur yang bisa membangun karakter mereka. Terlalu banyak sanjungan tanpa tolak ukur yang jelas, pada akhirnya akan membunuh siswa tersebut dari kemampuan dia yang sebenarnya, dengan kata lain kita sedang membalikkan cermin refleksi yang mereka hadapi.
Pada akhirnya, kalimat “wah, saya harus berusaha lebih baik lagi”. yang kita tunggu, menunjukkan bahwa proses dan upaya tersebut sudah berjalan dan hanya tinggal perkara waktu saja mereka akan unjuk gigi soal kemampuan sesungguhnya.
Tapi saya percaya, diluar sana tetap ada mahasiswa dengan kemampuan asli dan pencapaian yang luar biasa tanpa manipulasi.
Thanks to RandyPausch